Soal Revisi UU 23 PSDN, Begini Kata PBHI dan Imparsial

Nasional367 views

Bandar Lampung, (Beritajempol.co.id) – Imparsial dan PBHI menilai Pengesahan Undang-undang No. 23 tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (UU PSDN) pada 2019 menyisakan banyak permasalahan formil dan subsantsial.

Masalah formil pembentukan UU PSDN terlihat dari proses pembentukan undang-undang tersebut yang dilakukan secara terburu-buru, cenderung tertutup, dan minim partisipasi publik.

Padahal, prinsip pembentukan peraturan perundangundangan yang baik harus dilakukan secara terbuka dengan melibatkan partisipasi masyarakat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

“UU PSDM dengan 13 pasal itu bertentangan dengan prinsip dasar azas kepastian hukum karena diwajibkan oleh konstitusi, salah satu ruang lingkup ancaman, karena definisi ancaman gak di detilkan apakah soal militer atau non militer atau hibrida, perlu dipertanyakan,” kata Ketua BPN PBHI Julius Ibrani, saat dialok publik di wood Stair Cafe, Kamis (16/06/2022).

Secara substansi, pembentukan UU PSDN mengandung pasal-pasal bermasalah, multiinterpretatif, dan tidak sejalan dengan prinsip HAM. Salah satu persoalan utama dari aturan tentang Komponen Cadangan adalah terkait ruang lingkup ancaman yang akan dihadapi yang sangat luas.

Ia menyinggung, pembentukan Komponen Cadangan ini sangat dikhawatirkan akan menjadi sarana dilegalkannya para milisi untuk kepentingan menghadapi kelompok masyarakat dalam negara sendiri.

“Lebih dari itu, pembentukan Komponen Cadangan yang dipaksakan pada saat ini punya kecenderungan dimensi politisnya yakni untuk kepentingan politik praktis ketimbang untuk kepentingan pertahanan,” ujarnya.

Menurutnya, dalam sejarah Indonesia, proses militerisasi sipil oleh kekuasaan pernah digunakan oleh penguasa untuk mengamankan kekuasaan yang sering menimbulkan kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia.

“Sebelumnya, pada tahun 1998, kelompok-kelompok pamswakarsa menghadapi demonstrasi besar mahasiswa yang menolak Sidang Istimewa MPR. Di Aceh pada 2003 hingga 2004, penguasa menciptakan banyak kelompok milisi selama operasi darurat militer,” sebutnya.

Padahal kata dia, tujuan Demokrasi memisahkan militer dan sipil termasuk pengadilan, sebab zaman dulu sebelum Demokrasi peradilan militer tidak semua kegiatan yang mereka langgar ada kaitan denga militer.

“UU PSDM akan menjadi ruang kembalinya nanti ke zaman sebelum Demokrasi, terlebih kemudian soal pemdanaan anggaran dengan alasan militer, dia boleh dan bisa dibiayai selain dari APBD inikan keliru, anggaran militer kan hanya boleh dari APBN,” kecamnya.

Selain Julius, Penelitian senior Imparsial Al-Araf mengatakan, UU PSDM setiap anggota masyarakat yang menjadi Komponen Cadangan dan menghindari panggilan mobilisasi akan dikenakan sanksi hukuman pidana selama paling lama 4 tahun (Pasal 77 ayat (1)) terlalu berlebihan dan sangat berbahaya.

Bahkan setiap orang yang membuat Komponen Cadangan tidak memenuhi panggilan mobilisasi terancam
hukuman penjara dua tahun (Pasal 77 ayat (2)).

“Hal ini tentu menyalahi prinsip conscientious objection (hak untuk menolak atas dasar keyakinannya) yang merupakan prinsip kardinal, Ini sukarela tapi kalau tidak ikut pelatihan akan dipidana, lah masa dipidana padahal sukarela judulnya, ini over kriminalisasi, jadi ini trik dari wajib militer,” kata Al-Araf.

Dilanjutkanya, kondisi dan alutitsa kita saat rapuh, hanya 50 persen yang layak pakai, itu artinya persenjataan kita jauh dari ideal, itu artinya komponen utamanya jauh dari profesional karena alutistanya terbatas.

“Pesawat jatuh, kapal selam tenggelam itu fakta saat ini, rumdis prajurit terbatas, kalau komponen utama belum kuat, maka logisnya kita perkuat itu dulu, ngapain buat komcad kenapa tak perkuat kompinen utama. Kalau lihat Korsel, singapura dan Israel jelas mereka memikirkan ancaman konsisten sedangkan kita tidak ada ancaman itu.Jadi tidak eksplisit tujuanya tidak urgensi kebutuhan ya, ini belum urgent,” demikian Al-Araf.

Sementara itu akademis Unila Dr Budiono mengatakan, dirinya menruh rasa bangga pada Julius dan Al-Araf, karena sudah sedikit orang yang mau berjuang untuk hak asasi manusia ini, ia bahkan menyebut mereka ini orang orang bergagasan baik dan cerdas.

“UU ini semula saya baca biasa saja, ternyata secara dalam ini sangat esensial terhadap rakyat dan menimbulkan pertanyaan, ini disahkan tapi kurang melibatkan rakyat.Kita gak dilatih saya kita suka gaya militer, apalagi dibuat seperti ini, mereka terlatih akan jadi rescan disalah gunakan, nah siapa yang mengontrol,” kata Budiono.

Budiono menuturkan jika MK juga diluar nalar, karna secara teori ini inkonstitusional tapi berlaku, semantara kita gak bisa diam, rakyat secara prosedur saja banyak yang dilangkahi, sehingga dikhawatirkan nanti justru menjadi konflik horizontal.

“Dikawatirkan ini akan berbahaya, dia dianggap legal, misal dulu pam swakarsa untuk mobilisasi, nah jangan lagi terulang, nah sekarang harusnya kita dapat informasi banyak, tapi justru sekarang di keterbukaan publik dan medsos informasinya sangat sedikit.Disini juga dituntut peran media, bahwa masyarakat punya hak untuk tau, tujuan di buatnya undang-undang kan untuk meningkatkan partisipasi, kenapa buru-buru ini kan tidak urgent,” tutupnya.

Diketahui, tujuan kegiatan rangkaian kegiatan ini untuk mendiskusikan tentang urgensi dan proses judical review UU PSDN atau melalui revisi UU PSDN.

Kemudian, mendiseminasikan urgensi judicial review UU PSDN atau revisi UU PSDN dalam konteks penguatan HAM dan demokrasi.

Lalu rl terakhir mengkoordinasikan dukungan terhadap judical review UU PSDN atau revisi UU PSDN.

Putra

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *